Nak kecil berbaring lesu disebelah bapaknya. Sengaja ingin bermanja-manja mungkin dan bukan tak mungkin ia ingin menusuk sepuhnya itu semua terawang, terbayang pun sempat terpikirkan. Sang bapak tak kalah saingan dengan wajah bercabang ia membelai kepala si anaknya di depan, dibelakang tak menutup kesempatan hanya ingin menikam mudanya tersebut.
Sontak mereka terkaget dan spontan senyum terkembang melayang bersama kelindan pikiran saat lirikan berubah jadi tatapan. Hitam putih tersamar amarah yang memuncak bebareng lototan urat syaraf. Garis merah membayang sedikit sejurus mengembangnya otot nafsu yang membabi buta.
Si anak lantang menyentak, “apa yang kau pikirkan??”.
Sang bapak menyolot menyahut, “bukan urusan apa yang kupikirkan, justru sekarang apa yang ingin kau perbuat???”.
“huh,aku tahu!!!. Sebenarnya aku bukan anakmu adan pula kau juga bukan wali asuhku!!!”. Memicingkan mata,si anak mengeras.
“ barang sepatah tak pernah kukatakan” sahut sang bapak.
Belum sempat tertimpali, “ memang, 10 tahun pautan kita belum cukup alasankah untuk kau ikut caraku tanpa banyak tingkah????”
“ jangan kau berlebih,melankolismu tak lebih dari basa-basi, bahkan terlebih menjilat ludahmu sendiri!!!!”. Si anak semakin ngotot.
Pertentangan menjurus perselisihan mereka tak hanya tampak permukaan. Sebenarnya, Beliau, orang tua setingkat diatas sang bapak dan dua tingkat lebih unggul dari si anak sering menyaksikan percikan diantara dua cecunguknya.
Entah kenapa, “kepastian” sudah berputar di imaji si anak. Beliau berkata, “ sudah, matikan saja
Bukan serta merta pasrah, pun entah kenapa, “ketidak pastian” nimbrung berkeliling di awangan si anak. Beliau yang alin menyapa, “ ah, kau ini jangan menyerah, kau ini berpotensi. Jangan ikuti mereka!!!, akan ku tunggu saat mereka berbalik mengikutimu”.
Berbeda dengan kalimat beliau pertama, kalimat beliau yang lain selalu diimpikan si anak. Bukan ketika dia terlelap menyapa peri mimpi, tetapi ketika si anak bersuara memperjuangkan wujud nyata merdeka.
“ hai, apa perlu kau kusebut tak tau diuntung???”. Bagai kilat menyambar saraf si anak, memutus jalur utopi fana yang hampir kembali nyata.
“ untung??????”. “ jangan kau sebut itu lagi. Aku tau, kau takut kehilangan wibawamu. Selama ini, kau anggap kami diasuh olehmu, kau anggap kami disepuh sesuai ideal inginmu”. Pitam si anak mengepal tinju.
Merah padam sang bapak tak malu bukan marah
“ cuih, ini yang kulakukan, puas tak kau????”. “ manis saja tampangmu, tapi busuklah di neraka paraumu!!!”. Penuh keringat si anak berpaling dari sang bapak. Belum genap 3 langkah……sang bapak memanggil.
“ terus apa maumu sekarang??? Jangan kau permainkan aku dengan langkahmu yang semakin menjauh”.
Sedikit binary hati si anak disembunyikan dalam-dalam memandang pucat pasi kekalahan tergoret di mimic sang bapak.
“ sudah kubilang sedari tadi, kau bukan bapakku dan pula kau bukan wali asuhku”.
“ jangan kau sebut seperti itu”. Sang bapak tertunduk lesu………
“ oke, Cuma satu, kalau kau ingin aku menghargaimu atas pautan 10 tahun, biarkan aku ada di bawah atapku sendiri”.
Nada membujuk sang bapak berkata, “ disini tak Cuma panas, dingin tak beda lama menyapa”.
“ hah?????? Biarlah, berbasah selamanya pun aku rela, tapi di bawah gentengku sendiri”. Si anak berpancar tanpa keraguan.
“ tapi,,,,,,,” sang bapak coba merajuk…..
“ aku lebih nyaman sengsara di dalam teduhku pribadi daripada harus menjual tawa tak berarti yang terus berganti kesedihan abadi dengan harga diri yang selama ini sudah terbaca hanya ada di telapak kaki…….”.
Sang bapak termangu. Entah bermaksud atau tidak,tetapi, dengan pasti si anak melangkah pergi meninggalkan tawaran harga pasti………