Rabu, 09 April 2008

nadir

Nak kecil berbaring lesu disebelah bapaknya. Sengaja ingin bermanja-manja mungkin dan bukan tak mungkin ia ingin menusuk sepuhnya itu semua terawang, terbayang pun sempat terpikirkan. Sang bapak tak kalah saingan dengan wajah bercabang ia membelai kepala si anaknya di depan, dibelakang tak menutup kesempatan hanya ingin menikam mudanya tersebut.

Sontak mereka terkaget dan spontan senyum terkembang melayang bersama kelindan pikiran saat lirikan berubah jadi tatapan. Hitam putih tersamar amarah yang memuncak bebareng lototan urat syaraf. Garis merah membayang sedikit sejurus mengembangnya otot nafsu yang membabi buta.

Si anak lantang menyentak, “apa yang kau pikirkan??”.

Sang bapak menyolot menyahut, “bukan urusan apa yang kupikirkan, justru sekarang apa yang ingin kau perbuat???”.

“huh,aku tahu!!!. Sebenarnya aku bukan anakmu adan pula kau juga bukan wali asuhku!!!”. Memicingkan mata,si anak mengeras.

“ barang sepatah tak pernah kukatakan” sahut sang bapak.

Belum sempat tertimpali, “ memang, 10 tahun pautan kita belum cukup alasankah untuk kau ikut caraku tanpa banyak tingkah????”

“ jangan kau berlebih,melankolismu tak lebih dari basa-basi, bahkan terlebih menjilat ludahmu sendiri!!!!”. Si anak semakin ngotot.

Pertentangan menjurus perselisihan mereka tak hanya tampak permukaan. Sebenarnya, Beliau, orang tua setingkat diatas sang bapak dan dua tingkat lebih unggul dari si anak sering menyaksikan percikan diantara dua cecunguknya.

Entah kenapa, “kepastian” sudah berputar di imaji si anak. Beliau berkata, “ sudah, matikan saja hama kecil itu di persidangan nanti, sebelum ia merambat dan bersekutu dengan hama besar lainnya!!!”. Kalimat itu selalu terngiang di telinga.

Bukan serta merta pasrah, pun entah kenapa, “ketidak pastian” nimbrung berkeliling di awangan si anak. Beliau yang alin menyapa, “ ah, kau ini jangan menyerah, kau ini berpotensi. Jangan ikuti mereka!!!, akan ku tunggu saat mereka berbalik mengikutimu”.

Berbeda dengan kalimat beliau pertama, kalimat beliau yang lain selalu diimpikan si anak. Bukan ketika dia terlelap menyapa peri mimpi, tetapi ketika si anak bersuara memperjuangkan wujud nyata merdeka.

“ hai, apa perlu kau kusebut tak tau diuntung???”. Bagai kilat menyambar saraf si anak, memutus jalur utopi fana yang hampir kembali nyata.

“ untung??????”. “ jangan kau sebut itu lagi. Aku tau, kau takut kehilangan wibawamu. Selama ini, kau anggap kami diasuh olehmu, kau anggap kami disepuh sesuai ideal inginmu”. Pitam si anak mengepal tinju.

Merah padam sang bapak tak malu bukan marah

“ cuih, ini yang kulakukan, puas tak kau????”. “ manis saja tampangmu, tapi busuklah di neraka paraumu!!!”. Penuh keringat si anak berpaling dari sang bapak. Belum genap 3 langkah……sang bapak memanggil.

“ terus apa maumu sekarang??? Jangan kau permainkan aku dengan langkahmu yang semakin menjauh”.

Sedikit binary hati si anak disembunyikan dalam-dalam memandang pucat pasi kekalahan tergoret di mimic sang bapak.

“ sudah kubilang sedari tadi, kau bukan bapakku dan pula kau bukan wali asuhku”.

“ jangan kau sebut seperti itu”. Sang bapak tertunduk lesu………

“ oke, Cuma satu, kalau kau ingin aku menghargaimu atas pautan 10 tahun, biarkan aku ada di bawah atapku sendiri”.

Nada membujuk sang bapak berkata, “ disini tak Cuma panas, dingin tak beda lama menyapa”.

“ hah?????? Biarlah, berbasah selamanya pun aku rela, tapi di bawah gentengku sendiri”. Si anak berpancar tanpa keraguan.

“ tapi,,,,,,,” sang bapak coba merajuk…..

“ aku lebih nyaman sengsara di dalam teduhku pribadi daripada harus menjual tawa tak berarti yang terus berganti kesedihan abadi dengan harga diri yang selama ini sudah terbaca hanya ada di telapak kaki…….”.

Sang bapak termangu. Entah bermaksud atau tidak,tetapi, dengan pasti si anak melangkah pergi meninggalkan tawaran harga pasti………

tugas mata kuliah media dan gender

PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI REPRESENTATIF BUDAYA PATRIARKI

DI INDONESIA

(Oleh ALIEM DWI PRABOWO mahasiswa prodi ilmu komunikasi UII)

Budaya adalah hasil ekspresi sebuah, skelompok, sekumpul masyarakat yang berada di lingkungan, dan wilayah yang sama melalui proses dasar cipta, cita, karsa, dan karya. Ekspresi yang coba lahir di tengah masyarakat tersebut akan mewakili segala aspek dan unsure masyarakat itu sendiri. Ekspresi yang tersalurkan tersebut lambat laun dan pasti menjadikan budaya sebagai identitas sebuah masyarakat. Dan tidak sampai disitu saja, budaya yang lahir lalu menjadi identitas mendorong sebuah masyarakat menggunakan budaya itu layaknya landasan paling dasar untuk berpikir, bersikap dan menentukan arah perkembangan. Landasan tersebut diataslah yang pada akhirnya menuntun masyarakat kepada kebiasaan. Entah baik atau buruk kebiasaan itu jika dipandang oleh dunia luar, tidak lantas menggoyahkan tentang pembenaran atas apa yang sudah terbentuk dan yang sudah dijalani. Bahkan dengan budaya kadang bisamenjadi momok untuk mengeksploitasi suatu kaum, menindas, memeras tanpa sadar, bahkan budaya bisa juga menjadi alat pelanggaran hak asasi manusia. Diambil dari “ Kebudayaan dan Kekuasaan “ yang ditulis oleh Edward w. said. Tahun 1995. Konstruksi yang mengakar dan mendarah daging telah membutakan mata sebuah masyarakat terhadap realitas social paling mendasar yaitu pandangan atas apa itu, siapa itu, kenapa itu, dan harus bagaimana itu tentang status lelaki dan perempuan. Sebagai contoh kasus studi tentang budaya, Indonesia sebagi bangsa patriarki cocok untuk diangkat.

Atas dasar apa yang ditulis oleh Edward w. Said diatas, Indonesia sebagai bangsa patriarki sudah menjalani hal tersebut cukup lama. Secara sadar atau tidak, baik langsung maupun tidak langsung telah memposisikan kaum perempuan sebagai objek danlelaki sebagi subjek. Proses ini telah memberikan pandangan masyarakat mengenai peran dan kedudukan lelaki dan perempuan. Bagaimana sejak kecil anak perempuan telah dicekoki dengan apa yang dinamakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, sedangkan lelaki dituntun untuk lebih berkegiatan luar rumah dan sangat jarang bersentuhan dengan pekerjaan rumah tangga tersebut.

Mari kita kembali ke masa sebelum kemerdekaan melihat kenyataan apa yang telah diformulasikan oleh R.A. Kartini tentang emansipasi wanita. Tanpa mengabaikan perbedaan perlakuan antara pribumi dan non pribumi pada ssaat itu, jelas yang terlalu menonjol adalah perbedaan lelaki dengan perempuan itu sendiri. Tak lepas dari ingatan sewaktu guru sejarah bercerita, “ wanita dipingit, tidak diperbolehkan keluar rumah bahkan hanya untuk bermain ( bersekolah ). Jelas tidak ada alasan yang relevan kecuali alasan yang terlalu dibuat – buat yang bisa mendampingi fakta masa lalu diatas. Dan itulah budaya yang dibentuk dan terbentuk dengan sendirinya. Adanya fakta diatas serta-merta mematikan semati-matinya hak mendasar yang dimiliki perempuan sebagai manusia yaitu kebebasan. Tentu kebebasan masa itu tidak mengacu pemahaman stereotype kebebasan masa kini.

Sebagai perbandingan budaya awal Indonesia yang memang mengacu kepada patriarki adalah doktrin agama. Disebutkan jikalau permpuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut membentuk sebuah mindset awam ‘ dikarenakan berasal dari bagian lelaki, maka perempuan diposisikan harus tunduk-setunduknya kepada lelaki. Lalu, mengapa tidak dikatakan bahwa perempuan diciptakan dari tanah yang sama, diberi darah merah yang sama, dan otak yang sama dengan lelaki sekalian???. Memang, merujuk dari agama, secara kodrati perempuan memiliki kemampuan fisik yang kurang dibanding lelaki. Tetapi, statemen diatas sudah menjadi budaya yang dijadikan pembenaran keterangan selanjutnya mengenai perempuan ( direndahkan ).

Kembali ke permasalahan budaya patriarki di Indonesia. Budaya Indonesia yang merupakan besaran dari budaya-budaya yang ada di daerah, seolah-olah mengabsahkan bahwa lelaki berada di atasa segalanya. Bisa kita lihat, upaya perlindungan terhadap hak kaum perempuan di berbagai suku di Indonesia belum optimal. Tidak ada bahkan. Contoh mudah ada di kehidupan masyarakat Aceh, dan papua. Di Aceh, perempuan mendapat label “ dibeli lelaki “ saat akan memasuki gerbang pernikahan. Di Papua, perempuan mendapat tugas berat untuk pergi ke hutan mencari bahan makanan untuk kemudian mengolah sendiri bahan makanan yang didapatkan. Apakah semestinya pemahaman secara kodrati seperti disebut diatas dapat dengan mudah dipatahkan jika realitanya seperti itu.

Kembali ke masalah pelik di Indonesia dengan budaya patriarki yang kental jelas tidak akan memberikan pilihan apapun kepada kaum perempuan. Secara gamblang, perbedaan yang ada seolah-olah menunjukkan adanya pembingkaian ( framing ) atas sesuatu. Sesuatu yang dianggap penting ( lelaki ) dan tidak penting ( perempuan ). Kajian gender yang kemudian muncul ( counter ) atas pembingkaian tersebut barulah bangunan awal pola pikir masyarakat dimana hanya menekankan penerimaan kesetaraan gender bukan pemahaman mendalam tentang gender sebagai acuannya. Hal ini ditambah dengan budaya, terutama tentang perempuan, persepsi yang akan muncul dibentuk atas dasar sudut pandang lelaki di sebuah masyarakat.

Sebenarnya masih banyak contoh kasus di Indonesia yang mengacu kepada budaya patriarki dimana posisi perempuan menjdi objek dirugikan dapat di temukan. Sebut saja kaum perempuan di Bali, Dayak dan Suku Dani di pedalaman Papua. Dan seharusnya kesemuanya dapat membuat mata kembali terbuka untuk menerapkan pemahaman dan pengakuan gender secara adil.