Senin, 21 Juli 2008

komunikasi politik

EFEK MEDIA TERHADAP POLITIK

Menjelang Pemilu th2009 yang sebentar lagi berlangsung, tampaknya semakin ramai mengisi sisi-sisi ruang pemberitaan media. Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang terjadi di Indonesia menjadi agenda utama media-media baik cetak maupun elektronik. Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu.

Kelemahan media televisi ada pada kecenderungannya untuk lebih menyorot hal-hal yang ‘menghebohkan’, seperti huru-hara saat demonstrasi, reaksi elemen masyarakat terhadap kandidat tertentu, dan sebagainya. Kecenderungan ini akhirnya mengabaikan substansi isu politik itu sendiri. Fenomena ini, jauh-jauh hari telah ditegaskan oleh Patterson & McClure (1976, dalam Oskamp & Schultz,1998), “Network news may be fascinating. It may be highly entertaining. But it simply not informed.”

Selain itu, media televisi juga memiliki kapasitas terbatas untuk menghadirkan ulasan-ulasan yang mendalam, berbeda dengan media cetak yang bisa menampilkan berbagai tulisan sehingga pembaca bisa menyimaknya berkali-kali, bahkan berhenti sejenak untuk merenung atau diskusi dengan pembaca lain tanpa khawatir artikel tersebut akan ‘hilang’. Bandingkan dengan televisi, pemirsa tidak bisa ‘menghentikan’ tayangan untuk memberi waktu otaknya berpikir apalagi merenung. Meski demikian, tidak berarti televisi tidak pernah memberikan kontribusi dalam pemilihan umum.

Hal seperti ini, seolah media dapat disebut sebagai actor utama, atau dalang dibalik pangung politik yang mungkin sangat panas, dan sarat oleh kemunafikan dan sandiwara semata. Peran media dalam pangung politik sangat besar, karena hanya lewat media para tokoh-tokoh politik dapat mempengarui banyak kalangan masyarakat, dan juga bisa sebagai alat propaganda.

Efek Kognitif

Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang satu isu yang terbilang ringan,namun merembet pada media lain, masyarakat pun ikut terlena didalamnya. Isu yang mungkin telah terjadi sebelumnya, dan terbilang besar seketika tenggelam dan tidak lagi terlalu terdengar perpanjangan dari kabar penting tersebut.

Perhatian masyarakat cenderung lebih dipengaruhi gambaran media daripada situasi nyata dunia. Contoh lain, semakin banyak media yang mengusung dan mengemas berita kriminal, masyarakat mungkin saja menjadi yakin bahwa ada suatu gelombang kejahatan, tanpa perlu lagi memastikan atau mencari tahu informasi sebenarnya apakah kejahatan memang meningkat, menurun atau konstan. Oleh karena itulah, materi dalam media dapat menentukan ‘agenda publik’, yaitu suatu topik yang menjadi perhatian atau minat masyarakat serta mencoba untuk direspon.

Perilaku memilih

Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.

Menurut Noelle-Newman (1984,1992, dalam Oskamp & Schulz,1998), secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak maupun cara yang ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan dini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya ‘spiral silence’ diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang.

Jadi, jangan terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi tidak memiliki dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada pihak A, akan mengusik atau menciutkan hati pihak B, atau lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih capres-cawapres C misalnya, ‘mau nggak mau dipaksa untuk ‘meringis’ tatkala melihat jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia.

Efek dalam sistem politik

Televisi telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik.

Media, dengan publisitas, pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya telah menjadi media itu sendiri.

Kontrol Masyarakat

Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana. Terkadang seorang tokoh atau pihak tertentu yang masih bermasalah di masa silam atau kini nampak begitu kemilau dan tiba-tiba bersih sehingga masyarakat pun lengah dengan kepahitan yang pernah ada. Terus berputar pada masa lampau juga tidak akan mencerahkan bangsa ini, namun melupakan masa lalu juga bukan syarat bagi perbaikan diri, terlebih suatu bangsa.

Kontrol masyarakat untuk selalu melihat segala sesuatu dengan proposional, kritis dan obyektif sangat lah diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical control, sehingga terjalin kerjasama yang benar-benar secara positif membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak : pihak media massa dan terutama, pihak masyarakat.


Senin, 26 Mei 2008

ranting tanah kosong

Hitam bertumpukan dan berserakan

Diam tak bergerak

Bergerak pun tak hendak

Saat dia datang,,,,,,

Anak kecil berdiri tersenyum meracau

Marah lalu menginjak sambil mematah

Pikirnya!! Buat apa ini?

SAMPAH

Kemudian dibakarnya

Hitam sedikit keputihan dan berhamburan

Tak ada gemertak terpatah

Terpatah pun tak usah

meminjam teori evolusi darwin

Meminjam teori Evolusi C.Darwin.terlalu banyak hal yang ada dalam diri manusia adalah sama dengan hewan.dalam segi apapunkecuali pada hakikatnya manusia diberi akal untuk berpikir dan naluri untuk bertindak atau berkegiatan. Pun itu Cuma berdasar pada hakikat. Pada kenyataannya, kecenderungan terlihat jelas bahwa akal dan naluri yang dipakai dalam keseharian lebih kehewanian.

Bagaimana tidak?......

Sikap menjatuhkan, memaksakan, dan atau bahkan saling mematikan demi tercapainya suatu obsesi terbesar yang disebut kepentingan pribadi di atas segalanya. Tak ada lagi pengertian antar sesama, penghargaan atas sesuatu dan toleransi yang terkadang ditemukan berdampingan dengan kehewanian hewan itu sendiri.

Kesadaran demi kebersamaan menjadi terlalu mahal kalau hanya untuk diumbar begitu saja. Pasti ada-ada saja motif dibalik semuanya. (saya pun sadar pernah melakukan hal yang sama)

Celakanya lagi, disaat melkukan sesuatu yang menurut manusia kehewanian “tidak wajar” kondisi dan pandangan sekitar langsung berubah 180’ menjadi aneh tehadap ketidakwajaran tersebut. Penerimaan yang sinis memancing semuanya menghakimi yang aneh menurut umum itu adalah salah. Tetapi semua dilakukan secara diam-diam atau bahasa kerennya PLATONIS. (heeheehehhhee, ada pengkorupsian makna disini,biasanya pengagum rahasia dikorupsi menjadi pencibir rahasia)

Jadi inget opini kawan saya yang udah sedikit saya alih bahasakan seperti ini “Kondisi publik terlalu dipaksa menerima bahwa yang kuat akan selalu menang”. dengan sengaja mindset seperti itu dilanggengkan dan dilestarikan untuk menjadi pegangan hidup setiap individu. Dan dibuat seolah-olah tak ada tempat lagi untuk yang lemah. Dan terlalu lucu juga menurut saya kalau semua elemen dari semua individu adalah sesuatu atau seseorang yang kuat semua. Terlalu kacau dan amburadul nanti jadinya.

Semuanya ditambah dengan ketimpangan social yang semakin banyak bermunculan. Taruhlah ketika elemen yang lemah dengan sabar dan loyalitas diri dalam melayani elemen yang berada diatasnya yang notabene adalah elemen kuat. Seharusnya yang mereka harap dapat mereka terima minimal adalah sebuah penghargaan. Tetapi dalam kasus seperti diatas yang ada hanyalah yang kuat akan semakin kuat dan yang lemah akan semakin diinjak-injak.

Sampai kapan akan seperti ini?????????????

Tak ada kejelasan, tak ada keberpihakan dan tak ada rasa belas kasihan.

Capek andaikan seperti ini terus….

Tapi sebelum tulisan ini juga semakin tidak jelas, saya sudah berkesimpulan bahwa apa yang diimpikan oleh orang selama ini tentang kedamaian adalah diangan-angan saja. Selama tak ada kesadaran antar personal untuk mencoba mewujudkan dan selama belum hilangnya mausia kehewanian yang terlalu jauh memonopoli sisi kehidupan.

anjing

Komfornitas adalah perubahan perilaku atau kepercayaan menuju (norma) kelompok sebagai akibat tekanan kelompok yang realatau yang dibayangkan.Untuk mengenal dan lebih memahami apa itu komfornitas,mari kita lihat contoh studi kasus tentang:

“CAP” PEMUDA PEMBERONTAK !!!!!!!

Apa itu “Pemberontak” ?

Seperti layaknya “berontak”,sebuah kata yang begitu sukar dimaknai, para “pemberontak: adalah juga pribadi-pribadi yang tidak begitu mudah dipelajari.Dalam sebuah essai panjang Albert Camus yang berjudul “THE REBEL “ tertulis “……………...pemberontakan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya serinngkali bersifat relative”.Berdasarkan kerelatifan itu saya mencoba mengemukakan arti dari pemberontak itu.yaitu mereka-mereka yang membutakan diri terhadap kemungkinan adanya kebenaran lain dengan enggan menengok jalan alternative lain selain yang mereka pilih.Setiap pemberontakan memerlukan keberanian yang besar.Dan dalam keberanian yang besar itulah ada resiko dan pengorbanan yang yang sama besar dan bahkan lebih besar.Tetapi dewasa ini,para pemuda cenderung hanya mengikuti trend tanpa memgang nilai-nilai dari pemberontakan itu sendiri.dengan kata lain mereka hanya ikut-ikutan sok pemberontak tanpa sebuah pemahaman yang substansial tentang arti pemberontakan itu sendiri.

Kerugian menjadi bagian dari pemberontak !!!!!

Penekanan kerugian ini ditujukan hanya untuk mereka yang sekadar menjadi “BAWANG KOTHONG” dari komunitas “pemberontak”.kerugian –kerugian yang terjadi memng tidak terlihat secara jelas,tetapi dampak terhadap pemikiran mereka itulah yang secara bertahap akn menunjukkan perubahan yang sangat signifikan.dimulai dengan tidak memperhatikan pola-pola alternative selain pola yang mereka pilih.dilanjutkan dengan menjadikan “pemberontakan” sebagai budaya popular yang kehilangan makna.memang banyak para remaja kaum “pemberontak” yang tahu pasti apa yang dilakukan dan di jalankan.tetapi lebih banyak lagi remaja yang merupakan bagian dari kaum “pemberontak” yang hanya berlaku plagiat agar dapat dikatakan GAUL dandapat diterima dalam komunitas kaum “pemberontak” yang ingin dimasukinya.

Fakta penguat pemberontak “bawang kothong”

Sang Bintang Merah,Mohawk bercampur tidak jelas dengan Swastika, dan bendera AS.Remaja yang akan senang dipanggil pemberontak ini bahkan mungkin tidak pernah berpikir siapa orang yang mereka bawa dalam emblem dan pin.100% tak ada lagi rasa kebanggaan ideologis saat memamerkan Bintang Merah di kaos.contoh gampang lainnya adalah masalah hip-hop dan rap.Rap,mengutip tulisan Douglas kellner dalam bukunya Media Culture yang begini bunyinya “Articulated the experiences and conditions of black Americans living in violent ghetto conditions and become a powerfull vehicle for political expressions,articulating the rage of Africans Americans facing growing oppression and declining opportunities for advancement,in wich bare survival became an important issue”.inilah sejatinya rap.berbedadengan keadaan rap dan hip-hop sekarang ini yang syarat dengan emas,mobil mewah,dan tentunya wanita.tidak ada lagi sajak kemareahan kaum Afro menghadapi penindasan.Pemberontakan adalah hal yang sangat sacral.pemberontakan sekarang ini tentu ada untuk melakukan pemberontakan terhadap nilai-nilai yang lama.begitu juga pemberontakan yang akan dating ada untuk melaskukan pemberontakan nilai-nilai yang ada sekarang.Dan pemberontakan terlalu Tidak sedikit sacral untuk sekedar ditonjolkan dalam symbol-simbol belaka.dan lebih parah lagi ada remaja yang lebih baik memilih menunjukkan identitas sebagai pelawan daripada mempelajari tentang apa perlawanan itu sendiri.Pertunjukan ini,akan membuka sebuah jalan bagi penghilangan makna yang tersirat di dalam tubuh perlawanan itu sendiri.

Faktor pendukung pemberontak “bawang kothong”

· Penmpuhan pencarian jati diri yang terlalu lama dan tidak menentu.dalam keadaan seperti ini seorang remaja mengalami masa transisi dimana setiap pengaruh yang akan masuk tidak disaring dengan filter yang cukup kuat.maka otak remaja ini sangat mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya baru dan belum pernah dicoba.

· Tuntutan gengsi yang tinggi diantara sebaya.dengan acuan adanya semacm ejekan atau gurauan tentang komunitas masing-masing teman sebaya.

· Perasaan ingin dianggap oleh lingkungan.Tidak sedikt remaja yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan pengakuan dari sekitar.

Upaya Pencegahan pemberontak “bawang kothong”

Dalam upaya pencegahan hendaknya dimulai dari kesadaran bahwa ada makna dan sejrah yang lahir mendahului symbol.Dan itu sama sekali bukan untuk dilupakan.Ada arti dari setiap symbol yang tidak bias begitu saja kita abaikan .Semua orang pasti setuju untuk tertawa saat melihat seorang punk masuk ke sebuah rave party yang penuh dengan kemapanan.pemberontakan tidak harus selalu ditampilkan dalam gambar dan bentuk .Ada banyak cara lain untuk berontak.Lewat musik,tulisan,maupun lisan.Bukan bendera yang dikibar-kibarkan!!Bukan emblem yang memenuhi jaket kulit!!Bukan stiker,bukan pula spike yang melingkar di lengan.Pemberontakan adalah sebuah bentuk dan sikap bukan bagaimana cara kita agar terlihat “Seperti Pemberontak.”

(peduli) (setan)

Kamu bilang hidup ini brengsek, aku bilang biarin

Kamu bilang hidup ini gak punya arti, aku bilang biarin

Kamu bilang aku gak punya kepribadian, aku bilang biarin

Kamu bilang aku gak punya pengertian, aku bilang biarin

Habisnya terus terang saja, aku gak percayasama kamu

Tak usah marah

Aku tahu kamu itu sederhana. Cuma karena kamu

Merasa asing saja, makanya kamu bilang seperti itu

Kamu bilang aku bajingan, aku bilang biarin

Kamu bilang aku perampok, aku bilang biarin

Kalau aku gak jadi perampok, mau jadi apa coba?

Lonthe!!!!!

Aku kan laki-laki

Kamu gak suka aku, sebab itu aku rampok kamu,

Toh gak ada yang mau ngerampok dunia ini.

Gak percaya?

Tanya aja ama polisi

Kamu bilang hidup itu membosankan, aku bilang biarin

Kamu bilang hidup itu melelahkan, aku bilang biarin

Kamu bilang hidup itu menyakitkan, aku bilang biarin

Kalau aku gak bilang begitu, mau apa?????

Bunuh diri????

Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup berjalan

Seperti kamu sehari ini

Kamu bilang hidup itu menyebalkan!!!!!!!!!

Kamu bilang hidup ini mengerikan!!!!!!!!

Tetep aja aku bilang BIARIN !@#$%^&*()_

Selasa, 20 Mei 2008

1 : 1

aku, tentangnya padaku, yang terlihat orang lain
goresan dan guratan nikmatnya padaku tak dirasa siapapun...
biarlah..!!!!!
kenapa harus mengindra yang ada padaku tentangnya..!!

srikandi terjaga, mengingkari lubangnya
terbayang ilalang pangkal batang menempel raga

rasaku hilang, melecut memaksa ragaku teraba
raga...???
huh,,,aku tahu ini raganya yang terjual padaku

tak sampai kuraba, toh syarat tak berlebih yang harus kurasa
hahahaha.....
bukan karena puas
tapi, memungkiri tak berlaku selamanya

kembali terjebak
dalam kebas, dia berserah kalah dan aku menggulatinya
semuanya kosong...!!!
permainan seperti apa ini...???

tetap tentangnya padaku atau diriku padanya sekarang
pantulan dan sapuan kuas pun tak mampu berkata

kisah ini tak akan berhenti, tak melunak, bahkan membeku...???
hanya diam....tidak....haruskah beranjak naik??
bukan..!!!!
biarlah tertembus tajam

akan kujawab semua
takkan ragu apalagi malu
lalu kuhadapi segalanya

PUNCAK

besar keluar kecil jadi besar
entah asa atau utopia
pun juga tujuan
basah hanya sementara
awalnya
sepasang ????
atau kenapa langsung sekawan
mungkin naluri
membawa setingkat di atas pijak
kesana-kemari sorot teritari
menukik tidak tak kadang kembali naik
sendiri, ditemani, diam atau berlari tak peduli
...pasti kembali...
pandang kecak, pinggang tolak tak terhenyak
..pasti puncak..
akhirnya
kering tak selamanya
pun juga keinginan
entah suka atau derita
kecil keluar besar jadi kecil

Rabu, 09 April 2008

nadir

Nak kecil berbaring lesu disebelah bapaknya. Sengaja ingin bermanja-manja mungkin dan bukan tak mungkin ia ingin menusuk sepuhnya itu semua terawang, terbayang pun sempat terpikirkan. Sang bapak tak kalah saingan dengan wajah bercabang ia membelai kepala si anaknya di depan, dibelakang tak menutup kesempatan hanya ingin menikam mudanya tersebut.

Sontak mereka terkaget dan spontan senyum terkembang melayang bersama kelindan pikiran saat lirikan berubah jadi tatapan. Hitam putih tersamar amarah yang memuncak bebareng lototan urat syaraf. Garis merah membayang sedikit sejurus mengembangnya otot nafsu yang membabi buta.

Si anak lantang menyentak, “apa yang kau pikirkan??”.

Sang bapak menyolot menyahut, “bukan urusan apa yang kupikirkan, justru sekarang apa yang ingin kau perbuat???”.

“huh,aku tahu!!!. Sebenarnya aku bukan anakmu adan pula kau juga bukan wali asuhku!!!”. Memicingkan mata,si anak mengeras.

“ barang sepatah tak pernah kukatakan” sahut sang bapak.

Belum sempat tertimpali, “ memang, 10 tahun pautan kita belum cukup alasankah untuk kau ikut caraku tanpa banyak tingkah????”

“ jangan kau berlebih,melankolismu tak lebih dari basa-basi, bahkan terlebih menjilat ludahmu sendiri!!!!”. Si anak semakin ngotot.

Pertentangan menjurus perselisihan mereka tak hanya tampak permukaan. Sebenarnya, Beliau, orang tua setingkat diatas sang bapak dan dua tingkat lebih unggul dari si anak sering menyaksikan percikan diantara dua cecunguknya.

Entah kenapa, “kepastian” sudah berputar di imaji si anak. Beliau berkata, “ sudah, matikan saja hama kecil itu di persidangan nanti, sebelum ia merambat dan bersekutu dengan hama besar lainnya!!!”. Kalimat itu selalu terngiang di telinga.

Bukan serta merta pasrah, pun entah kenapa, “ketidak pastian” nimbrung berkeliling di awangan si anak. Beliau yang alin menyapa, “ ah, kau ini jangan menyerah, kau ini berpotensi. Jangan ikuti mereka!!!, akan ku tunggu saat mereka berbalik mengikutimu”.

Berbeda dengan kalimat beliau pertama, kalimat beliau yang lain selalu diimpikan si anak. Bukan ketika dia terlelap menyapa peri mimpi, tetapi ketika si anak bersuara memperjuangkan wujud nyata merdeka.

“ hai, apa perlu kau kusebut tak tau diuntung???”. Bagai kilat menyambar saraf si anak, memutus jalur utopi fana yang hampir kembali nyata.

“ untung??????”. “ jangan kau sebut itu lagi. Aku tau, kau takut kehilangan wibawamu. Selama ini, kau anggap kami diasuh olehmu, kau anggap kami disepuh sesuai ideal inginmu”. Pitam si anak mengepal tinju.

Merah padam sang bapak tak malu bukan marah

“ cuih, ini yang kulakukan, puas tak kau????”. “ manis saja tampangmu, tapi busuklah di neraka paraumu!!!”. Penuh keringat si anak berpaling dari sang bapak. Belum genap 3 langkah……sang bapak memanggil.

“ terus apa maumu sekarang??? Jangan kau permainkan aku dengan langkahmu yang semakin menjauh”.

Sedikit binary hati si anak disembunyikan dalam-dalam memandang pucat pasi kekalahan tergoret di mimic sang bapak.

“ sudah kubilang sedari tadi, kau bukan bapakku dan pula kau bukan wali asuhku”.

“ jangan kau sebut seperti itu”. Sang bapak tertunduk lesu………

“ oke, Cuma satu, kalau kau ingin aku menghargaimu atas pautan 10 tahun, biarkan aku ada di bawah atapku sendiri”.

Nada membujuk sang bapak berkata, “ disini tak Cuma panas, dingin tak beda lama menyapa”.

“ hah?????? Biarlah, berbasah selamanya pun aku rela, tapi di bawah gentengku sendiri”. Si anak berpancar tanpa keraguan.

“ tapi,,,,,,,” sang bapak coba merajuk…..

“ aku lebih nyaman sengsara di dalam teduhku pribadi daripada harus menjual tawa tak berarti yang terus berganti kesedihan abadi dengan harga diri yang selama ini sudah terbaca hanya ada di telapak kaki…….”.

Sang bapak termangu. Entah bermaksud atau tidak,tetapi, dengan pasti si anak melangkah pergi meninggalkan tawaran harga pasti………

tugas mata kuliah media dan gender

PENINDASAN TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI REPRESENTATIF BUDAYA PATRIARKI

DI INDONESIA

(Oleh ALIEM DWI PRABOWO mahasiswa prodi ilmu komunikasi UII)

Budaya adalah hasil ekspresi sebuah, skelompok, sekumpul masyarakat yang berada di lingkungan, dan wilayah yang sama melalui proses dasar cipta, cita, karsa, dan karya. Ekspresi yang coba lahir di tengah masyarakat tersebut akan mewakili segala aspek dan unsure masyarakat itu sendiri. Ekspresi yang tersalurkan tersebut lambat laun dan pasti menjadikan budaya sebagai identitas sebuah masyarakat. Dan tidak sampai disitu saja, budaya yang lahir lalu menjadi identitas mendorong sebuah masyarakat menggunakan budaya itu layaknya landasan paling dasar untuk berpikir, bersikap dan menentukan arah perkembangan. Landasan tersebut diataslah yang pada akhirnya menuntun masyarakat kepada kebiasaan. Entah baik atau buruk kebiasaan itu jika dipandang oleh dunia luar, tidak lantas menggoyahkan tentang pembenaran atas apa yang sudah terbentuk dan yang sudah dijalani. Bahkan dengan budaya kadang bisamenjadi momok untuk mengeksploitasi suatu kaum, menindas, memeras tanpa sadar, bahkan budaya bisa juga menjadi alat pelanggaran hak asasi manusia. Diambil dari “ Kebudayaan dan Kekuasaan “ yang ditulis oleh Edward w. said. Tahun 1995. Konstruksi yang mengakar dan mendarah daging telah membutakan mata sebuah masyarakat terhadap realitas social paling mendasar yaitu pandangan atas apa itu, siapa itu, kenapa itu, dan harus bagaimana itu tentang status lelaki dan perempuan. Sebagai contoh kasus studi tentang budaya, Indonesia sebagi bangsa patriarki cocok untuk diangkat.

Atas dasar apa yang ditulis oleh Edward w. Said diatas, Indonesia sebagai bangsa patriarki sudah menjalani hal tersebut cukup lama. Secara sadar atau tidak, baik langsung maupun tidak langsung telah memposisikan kaum perempuan sebagai objek danlelaki sebagi subjek. Proses ini telah memberikan pandangan masyarakat mengenai peran dan kedudukan lelaki dan perempuan. Bagaimana sejak kecil anak perempuan telah dicekoki dengan apa yang dinamakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, sedangkan lelaki dituntun untuk lebih berkegiatan luar rumah dan sangat jarang bersentuhan dengan pekerjaan rumah tangga tersebut.

Mari kita kembali ke masa sebelum kemerdekaan melihat kenyataan apa yang telah diformulasikan oleh R.A. Kartini tentang emansipasi wanita. Tanpa mengabaikan perbedaan perlakuan antara pribumi dan non pribumi pada ssaat itu, jelas yang terlalu menonjol adalah perbedaan lelaki dengan perempuan itu sendiri. Tak lepas dari ingatan sewaktu guru sejarah bercerita, “ wanita dipingit, tidak diperbolehkan keluar rumah bahkan hanya untuk bermain ( bersekolah ). Jelas tidak ada alasan yang relevan kecuali alasan yang terlalu dibuat – buat yang bisa mendampingi fakta masa lalu diatas. Dan itulah budaya yang dibentuk dan terbentuk dengan sendirinya. Adanya fakta diatas serta-merta mematikan semati-matinya hak mendasar yang dimiliki perempuan sebagai manusia yaitu kebebasan. Tentu kebebasan masa itu tidak mengacu pemahaman stereotype kebebasan masa kini.

Sebagai perbandingan budaya awal Indonesia yang memang mengacu kepada patriarki adalah doktrin agama. Disebutkan jikalau permpuan diciptakan dari tulang rusuk lelaki. Secara tidak langsung, pernyataan tersebut membentuk sebuah mindset awam ‘ dikarenakan berasal dari bagian lelaki, maka perempuan diposisikan harus tunduk-setunduknya kepada lelaki. Lalu, mengapa tidak dikatakan bahwa perempuan diciptakan dari tanah yang sama, diberi darah merah yang sama, dan otak yang sama dengan lelaki sekalian???. Memang, merujuk dari agama, secara kodrati perempuan memiliki kemampuan fisik yang kurang dibanding lelaki. Tetapi, statemen diatas sudah menjadi budaya yang dijadikan pembenaran keterangan selanjutnya mengenai perempuan ( direndahkan ).

Kembali ke permasalahan budaya patriarki di Indonesia. Budaya Indonesia yang merupakan besaran dari budaya-budaya yang ada di daerah, seolah-olah mengabsahkan bahwa lelaki berada di atasa segalanya. Bisa kita lihat, upaya perlindungan terhadap hak kaum perempuan di berbagai suku di Indonesia belum optimal. Tidak ada bahkan. Contoh mudah ada di kehidupan masyarakat Aceh, dan papua. Di Aceh, perempuan mendapat label “ dibeli lelaki “ saat akan memasuki gerbang pernikahan. Di Papua, perempuan mendapat tugas berat untuk pergi ke hutan mencari bahan makanan untuk kemudian mengolah sendiri bahan makanan yang didapatkan. Apakah semestinya pemahaman secara kodrati seperti disebut diatas dapat dengan mudah dipatahkan jika realitanya seperti itu.

Kembali ke masalah pelik di Indonesia dengan budaya patriarki yang kental jelas tidak akan memberikan pilihan apapun kepada kaum perempuan. Secara gamblang, perbedaan yang ada seolah-olah menunjukkan adanya pembingkaian ( framing ) atas sesuatu. Sesuatu yang dianggap penting ( lelaki ) dan tidak penting ( perempuan ). Kajian gender yang kemudian muncul ( counter ) atas pembingkaian tersebut barulah bangunan awal pola pikir masyarakat dimana hanya menekankan penerimaan kesetaraan gender bukan pemahaman mendalam tentang gender sebagai acuannya. Hal ini ditambah dengan budaya, terutama tentang perempuan, persepsi yang akan muncul dibentuk atas dasar sudut pandang lelaki di sebuah masyarakat.

Sebenarnya masih banyak contoh kasus di Indonesia yang mengacu kepada budaya patriarki dimana posisi perempuan menjdi objek dirugikan dapat di temukan. Sebut saja kaum perempuan di Bali, Dayak dan Suku Dani di pedalaman Papua. Dan seharusnya kesemuanya dapat membuat mata kembali terbuka untuk menerapkan pemahaman dan pengakuan gender secara adil.

Senin, 31 Maret 2008

angkot chapter 2 " salah jurusan"


sekumpul ego berkomuni interaksi

lebih berarti menjadi atau……

terlalu membodohi walau……

tersingkap tapak tanah tercadar senyum ramah

tercium seloyang nanah

Sesal tak ingin “per-an” musuh

Terlalu apatis menjadi idealis

Kalau manis hanya pelengkap kumis

Indah hanya kalau dada berbuah

Tak lagi ayal

Sembari mendongak congkak plus condong terlalu sombong

Kau menggigit pantat yang salah!!!!

Ha….ha….ha……su tenan kowe!!!!!

Pandangku tak kemana

Dengarku tak kesana

Otakku pun enggan bertanya

Tapi kau terdiam terpana tak ternyana merasa……

Pasti!!!

Sedikit lebih kurang tak sama kurang banyak

5-3 3-1 4-2 10-8 7-5 berapapun!!!!

Jangan menepi menyindir ada baiknya hargai atau menyingkir

Tidak tak ancaman jelas peringat tegas pantang maaf lampau keras

Ingin tak gaduh rusuh bukan musuh

Juga….

Tak sudi nyaman bukan kawan

angkot chapter 1 "penumpang gelap"

Ancaman tak muncul kepentingan

Susupan sindiran kemunafikan menjatuhkan

Bukan siapa??

Dekat bersila jauh tak apa adanya

Sekalipun bertanya

Jangan….!!!!!!!

Bukan kapan???

Telur larva menginjak muda

Tak ada beda tetap kecoa

Sekalipun meraba

Jangan…..!!!!!!!!

Bukan dimana????

Sini 3 sana 4 satu beda sama saja

Suntik tak bisa semprot jauga ada artinya

Kata kobra

Sekalipun mengada

Jangan……!!!!!!!!!

Jangan buru-buru

Kecolongan bukan lengah

Mainnya tunggu hanya saja

Bukan bagaimana?????

Mendelik polemic cantik main intrik

Jelas beda

Sapa bersama hantam merdeka

Sekalipun mencoba,,,,

Kami tega!!!!!!

Awal kehancuran kiranya lebih tantangan

Diskusi benteng diri berani mati

Tak pelik lagi

Jiwa menyapa berkorban pun rela

Kata raga

(Naga Baruna)